TIK dan Pendidikan
Istilah Information and Communications Technology (ICT) atau
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) adalah istilah yang relatif
baru dalam wacana komunikasi. Menurut kamus Wikipedia, istilah ICT mulai
digunakan oleh para peneliti akademik pada tahun 1980-an dan menjadi
populer sejak digunakan oleh Dennis Stevenson pada tahun 1997 dalam
laporannya kepada pemerintah Inggris tentang perkembangan pendidikan.
Istilah ICT semakin dikenal luas setelah digunakan dalam laporan tentang
revisi Kurikulum Nasional untuk Inggris, Wales, dan Irlandia Utara pada
tahun 2000.
Pengertian ICT terus berkembang mengikuti perubahan yang terjadi pada
teknologi dan aplikasinya dalam berbagai konteks da kebutuhan
komunikasi. Saat ini, menurut Wikipedia, istilah ICT digunakan untuk
menjelaskan konvergensi antara teknologi audio-visual dan jaringan
telephone dengan jaringan komputer melalui kabel tunggal (a single cabling) atau sistem jaringan (link system).
Menurut rumusan United Nation Development Programme (UNDP), ICT adalah
“seperangkat sumber daya dan peralatan teknologi yang digunakan untuk
mengkomunikasikan, menciptakan, mendiseminasi, menyimpan, dan mengelola
informasi.” Peralatan teknologi dimaksud antara lain komputer, internet,
teknologi penyiaran (radio dan televisi), dan telephone.
Sarana ICT membuat berbagai aktivitas komunikasi menjadi lebih
efektif dan efisien. Aplikasi ICT dalam berbagai konteks dan kebutuhan
komunikasi dapat mempercepat proses dan menghemat waktu, biaya, serta
tenaga. Misalnya, aplikasi ICT dapat meminialisir, bahkan mengeliminir
biaya telephone dan intensitas penggunaan Alat Tulis Kantor (ATK).
Aktivitas kependidikan pada dasarnya adalah aktivitas komunikasi
multi dimensi dan multi media yang melibatkan berbagai sumber belajar,
baik yang tertulis maupun tidak tertulis, dan juga melibatkan banyak
aktor, seperti tenaga pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik, dan
para pemangku kepentingan pendidikan, terutama para orang tua atau wali,
para lulusan, para pengguna lulusan, tokoh agama (toga), tokoh
masyarakat (tomas), tokoh pendidikan (topen), dan tokoh pemerintahan
(topem). Efektifitas semua dimensi komunikasi yang terjadi dalam proses
pendidikan sangat ditentukan oleh aktor yang terlibat beserta sumber dan
media komunikasi yang diunakan.
Dengan dukungan ICT, proses komunikasi di semua jalur, jenis, dan
jenjang pendidikan dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Jika
diintegrasikan dalam sistem penyelenggaraan pendidikan, ICT dapat
menjadi instrumen yang sangat efektif, efisien, kreatif, produktif, dan
menyenangkan. Sarana ICT dapat berperan sebagai instrumen utama bagi
para pendidik dan peserta didik dalam mencari (searching), menghimpun (classifying), menghubungkan (connecting), menginterpretasi (interpreting), dan menyajikan (presenting)
informasi secara cepat dan menarik, untuk ditransformasikan menjadi
ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Fungsi-fungsinya yang begitu banyak
dan perannya yang begitu penting dalam proses pembelajaran membuat ICT
menjadi salah satu sarana utama yang harus ada di setiap lembaga
pendidikan. Semua lembaga pendidikan perlu difasilitasi dengan sarana
ICT yang up to date dan relevan dengan berbagai kebutuhan
pelayanan pendidikan, baik pada aspek perangkat keras (hardwares) maupun
perangkat lunak (softwares).
Perubahan Paradigma
Era informasi dan pengenalan ICT di dunia pendidikan telah mengubah
paradigma pembelajaran. Di era ini, menurut UNESCO, lembaga-lembaga
pendidikan tidak hanya dituntut untuk mendorong peserta didik untuk
belajar (to learn), tetapi juga dituntut untuk dapat mendorong peserta didik untuk belajar menguasai ilmu (learning to acquire knowledge), mempromosikan aktivitas belajar bertindak (learning to act), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar untuk kehidupan (learning for life), dengan paradigma belajar sepanjang hayat (life long learnng).
Di tengah arus informasi yang mengalir deras dan semakin muda
diakses, lembaga-lembaga pendidikan tidak bisa lagi sekedar menjadi
tempat berlangsungnya transmisi informasi dari guru kepada murid dalam
periode waktu dan batasan ruang tertentu. Lembaga-lembaga pendidikan
dituntut untuk dapat berperan sebagai fasilitator bagi para pendidik dan
peserta didik untuk mengembangkan aktivitas pembelajaran yangmobile,
dinamis, dan menembus batasan ruang (spaceless), batasan waktu
(timeless), dan batasan kenegaraan (borderless). Dukungan ICT
memungkinkan proses pembelajaran terjadi kapanpun dan dimanapun. Dalam
konteks ini maka guru tidak lagi menjadi figur sentral dan sekolah tidak
lagi menjadi satu-satunya lingkungan belajar bagi peserta didik. Guru
dan sekolah hanyalah fasilitator dan mediator pembelajaran. Sarana ICT
membuat proses pebelajaran bersifat multi dimensi dan multi purposes.
Perubahan paradigma pembelajaran beriringan dengan perubahan
paradigma tentang literasi (melek huruf). Di era informasi, menurut
seorang futurist, Alvin Toffler (1990), orang yang disebut buta huruf
bukanlah orang yang tidak bisa membaca dan menulis, tetapi orang yang
tidak bisa belajar (learn), tidak bisa mengubah kebiasaan (unlearn), dan tidak bisa belajar kembali (relearn).
Toffler agaknya ingin mengingatkan kita bahwa masyarakat yang hidup di
era informasi dituntut untuk memiliki tradisi belajar yang kuat, agar
para anggotanya mampu menyerap, mengelolah, dan memanfaatkan informasi
secara kritis dan selektif.
Masyarakat yang kuat dan unggul di era informasi adalah masyarakat
yang menguasai atau mengendalikan informasi, dan masyarakat yang
menguasai informasi adalah masyarakat yang menguasai ICT. Jika tidak
disertai dengan tradisi belajar yang kuat, penguasaan ICT hanya akan
memberikan kesenangan, tidak memberikan ilmu pengetahuan. Dengan tradisi
belajar yangg kuat, semua anggota masyarakat memiliki kemauan keras
untuk belajar, selalu siap untuk berubah (open minded), dan terus belajar sampai akhir hayat (lifelong education).
Pentingnya tradisi belajar yang kuat bagi satu masyarakat diingatkan
pula oleh salah satu Presiden Amerika Serikat, Benjamin Franklin,
melalui ungkapannya sebagai berikut: “Being ignorant is not so much a
shame, as being unwilling to learn” (menjadi orang yang enggan belajar
lebih memalukan daripada menjadi orang yang tidak tahu apa-apa).
Tradisi belajar akan menentukan tingkat literasi. Di era informasi,
tingkat literasi yag dibutuhkan oleh satu masyarakat untuk dapat
berkembang dan bersaing sangat tinggi dan bervariasi. Di era ini,
menurut Alvin Toffler (1990), seseorang dituntut untuk melek dalam enam
aspek. Pertama, melek fungsional (functional literacy) atau melek visual (visual literacy),
yaitu memiliki kemampuan untuk menangkap makna dan mengekspresikan
ide-ide melalui berbagai media, termasuk penggunaan images, graphics,
video, dan charts. Kedua, melek ilmiah (scientific literacy), mampu memahami aspek-aspek teoritis dan aplikatif dari sains dan matematika. Ketiga, melek teknologi (technological literacy), berkompeten dalam menggunakan berbagai teknologi komunikasi dan informasi. Keempat, melek informasi (information literacy), mampu menggali, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara tepat, termasuk dengan menggunakan TIK. Kelima, melek budaya (cultural literacy), mengapresiasi keragaman budaya. Keenam, kesadaran global (global awareness), memahami bagaimana berbagai bangsa, korporasi, dan komunitas di seluruh dunia terhubung satu sama lain.
Tingkat literasi yang sangat tinggi dan bervariasi menuntut
lembaga-lembaga pendidikan untuk tidak hanya berperan sebagai pusat
belajar (center for learning), tetapi juga sebagai pusat budaya (center for culture), dan pusat peradaban (center for civilization).
Manfaat TIK bagi Pendidikan
Tingkat literasi yang tinggi dan bervariasi, menurut Toffler, sangat
terkait dengan trend kehidupan abad ke-21 dan fungsi-fungsi serta
aplikasi ICT. Karena itu, sarana ICT sangat penting untuk menunjang
berbagai aktivitas masyarakat manusia di abad ke-21, tentu saja termasuk
aktivitas dalam bidang pendidikan. Dengan sarana ICT yangup to date dan
relevan, lembaga-lembaga pendidikan dapat memaksimalkan perannya
sebagai pusat belajar, pusat budaya, dan pusat peradaban yang dapat
melahirkan anggota masyarakat yang tidak hanya melek huruf, tetapi juga
melek udaya, dan melek peradaban.
Peran yang sangat penting dan strategis sebagai pusat belajar, pusat
budaya, dan pusat peradaban menuntut lembaga-lembaga pendidikan untuk
dapat mengembangkan aktivitas pembelajaran yang memiliki paradigma yang
jelas dan daya jangkau yang luas. Dalam konteks inilah sarana ICT
menjadi sangat urgen, karena sarana ICT memberikan nilai manfaat yang
sangat banyak. Menurut penelusuran UNESCO (2013), ada lima manfaat yang
dapat diraih melalui penerapan ICT dalam sistem pendidikan: (1)
mempermudah dan memperluas akses terhadap pendidikan; (2) meningkatkan
kesetaraan pendidikan (equity in education); (3) meningkatkan mutu
pembelajaran (the delivery of quality learning and teaching);
meningkatkan profesionalisme guru (teachers’ professional development);
dan (4) meningkatkan efektifitas dan efisiensi manajemen, tata kelola,
dan administrasi pendidikan.
Mengetahui dan menyadari besarnya manfaat ICT bagi dunia pendidikan,
para ahli UNESCO menganjurkan agar semua negara, khususnya negara-negara
berkembang, meningkatkan berbagai sumber daya yang diperlukan untuk
mengelaborasi ICT dalam berbagai kebijakan, strategi, dan aktivitas
pendidikan. Untuk tujuan tersebut, secara khusus mereka telah meminta
UNESCO membangun Institute for Information Technologies in Education
(IITE) di Moscow. Tujuan utama dari lembaga ini adalah untuk mendorong
dan mempromosikan pertukaran informasi (information exchange) serta
menggalakkan berbagai riset dan pelatihan yang terkait dengan integrasi
ICT dalam sistem pelayanan pendidikan. Untuk Asia dan Pacific, tugas ini
diamanahkan kepada kantor cabang UNESCO di Bangkok.
Meskipun berhadapan dengan banyak kendala, upaya UNESCO dan
lembaga-lembaga kependidikan lainnya untuk mengintegrasikan ICT ke dalam
sistem pengelolaan dan pelayanan pendidikan sudah cukup berhasil.
Keberhasilan ini ditandai oleh munculnya berbagai jargon berawalan e, mulai dari e-book, e-learning, e-laboratory, e-education, e-library, dan sebagainya. Awalan e pada jargon-jargon tersebut bermakna electronics yang secara implisit dimaknai berdasar teknologi elektronika digital. Seiring dengan perkembangan teknologi komputer dan internet, maka muncullah beberapa jargon baru, seperti computer based teaching and learning,Internet-based learning atau web-based learning.
Keberhasilan UNESCO juga dapat dilihat pada beberapa kebijakan
pengembangan pendidikan. Sarana ICT telah menjadi salah satu fokus utama
dalam format akreditasi semua jalur, jenis, dan jenjang lembaga
pendidikan di negara-negara berkembang. Di Indonesia, misalnya,
ketersediaan sarana ICT, intensitas pemanfaatannya, dan komitmen
terhadap pengembangannya dalam pengelolaan lembaga pendidikan sudah
menjadi bagian penting dalam proses akreditasi sekolah dan perguruan
tinggi. Sudah banyak sekolah dan perguruan tinggi yang secara eksplisit
mencantumkan ICT sebagai salah satu kata kunci dalam rumusan visi, misi,
tujuan, sasaran, dan target pengebangannya. Mereka terus meningkatkan
kuantitas dan kualitas sarana ICT dan memperkuat SDM pengelolahnya.
Selain menggambarkan fenomena integrasi ICT ke dalam sistem
pendidikan yang terus berkembang dan meluas, jargon-jargon dan berbagai
perkembangan yang ada juga menggambarkan betapa dahsyatnya pengaruh
perkembangan ICT terhadap dunia pendidikan, khususnya terhadap
pergeseran paradigma pembelajaran dan paradigma pengelolaan lembaga
pendidikan. Fenomena ini mengingatkan kita betapa ironisnya jika di era
informasi sekarang ini masih ada lembaga-lembaga pendidikan dan
aktivitas pebelajaran yang tidak tersentuh oleh ICT atau jika masih ada
pendidik dan peserta didik yang tidak terekspose pada aplikasi ICT dalam
menjalankan aktivitas pembelajaran. Dan yang lebih ironis lagi jika di
era informasi ini masih ada penentu kebijakan pendidikan (educational
policy maker) yang menomorduakan atau mengabaikan sarana ICT dalam
berbagai agenda pembangunan pendidikan.